Rabu, 23 Maret 2011

FENOMENA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

chychyfebri23@gmail.com
ABSTRAK
Suatu pengkajian empiris tentang LKM pertanian yang bertujuan untuk mengetahui kinerja
LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi pedesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa
pada awal tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif menggunakan
metode group interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna
LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang
dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) Keberadaan LKM diakui
masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini
tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; (b) Secara faktual
pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usahausaha
ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas,
hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni
kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM; (c) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor
pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital,
kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa
layanan LKM; (d) Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian
diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.
Kata Kunci: LKM, Perbankan, Usahatani, Seed capital


PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan
Ekonomi Nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu
merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari
kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering
dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong
peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi
teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah.
Untuk mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan
modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun
kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak
memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk
berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas
uang - rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber
lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional
karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi
petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM)
pertanian akan menjadi salah satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis
sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini
tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional.
Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit
dengan pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi
usaha-usaha ekonomi non pertanian. Oleh karena itu muncul persoalan: (a) sejauhmanakah
keberadaan LKM di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya
dalam fasilitasi pembiayaan usahatani? (b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
keberlanjutan LKM tersebut dan (c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan
yang efektif untuk mendukung usahatani?
Makalah bertujuan membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam
pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta
mengungkap faktor-faktor kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan
LKM ke depan untuk mendukung kegiatan usahatani.
Hasil pembahasan akan berguna selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah
ada, juga menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan
ekonomi pedesaan ke depan.

METODOLOGI
Kerangka Pemikiran

Tidak dipungkiri, tumbuh dan berkembangnya LKM di Indonesia diilhami oleh
keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal
dengan Grameen Bank (GB). Banyak orang melihat model GB sebagai suatu model
pendekatan yang sukses dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran perempuan.
Melihat kesuksesan GB, banyak pihak yang mereplikasi metode GB terutama pada
metode penyaluran pinjaman yang dilakukan kepada pengguna, tetapi tanpa mereplikasi
sistem peningkatan kesejahteraan masyarakatnya yang berupa penyediaan layanan
simpanan kecil dan penyediaan jaminan sosial. Padahal kesejahteraan masyarakat dalam
arti sesungguhnya terletak pada pemilikan tabungan dan jaminan sosial di masa mendatang
(Anonim, 2007).
Replikasi pola GB di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 1989 yang diprakarsai
Puslitbang Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian yang pengelolaan selanjutnya
dilakukan Yayasan Pengembangan Usaha Mandiri (YPKUM) berlokasi di Nanggung Jawa
Barat. Berikutnya dilakukan di beberapa daerah lain seperti Tanggerang, di wilayah pasang
surut Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan tempat lain yang belum
teridentifikasi.
Bagi Indonesia, keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaannya oleh Lembaga
Keuangan Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para
pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002),
Sumodiningrat (2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain.
Momentum pembahasan LKM senantiasa terkait dengan upaya penanggulangan
kemiskinan, belum secara spesifik sebagai fasilitasi pembiayaan usahatani.
Menurut Wijono (2005), LKM di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar
mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun
kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai
informal dengan karakteristiknya masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi
yang sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk
mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan
rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun
aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang
cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu:
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan
kemiskinan (Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung
peranan kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi
kemiskinan ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di
Washington DC, 1997.
Berkembangnya berbagai skema keuangan mikro dan semakin tingginya kebutuhan
akan pengembangan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong
terbentuknya forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM)
untuk mengembangkan keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin
secara lebih luas. Gema PKM disahkan presiden pada tahun 2000, beranggotakan tujuh
pemangku kepentingan yaitu piha pemerintah, lembaga keuangan, LSM, pihak swasta,
akademisi atau peneliti, organisasi massa, serta lembaga pendanaan (Anonim, 2007).
Walaupun di lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh dan berkembang
lembaga keuangan yang terlibat di dalam pembiayaan usaha mikro dengan beragam bentuk
seperti bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal ventura, program
Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), pegadaian dan sebagainya (Retnadi,
2003), namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layana keuangan mikro
masih tetap ada. Di sektor pertanian, maraknya LKM di masyarakat itu belum serta merta
diikuti oleh pemenuhan kebutuhan permodalan bagi petani. Faktanya, kebutuhan
permodalan petani untuk pembiayaan usahatani selalu menjadi persoalan.
Lembaga jasa finansial berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada dasarnya
sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan pembangunan ekonomi pedesaan utamanya
sebagai lembaga untuk fasilitasi jasa pembiayaan usahatani. Hal itu didasarkan fakta
hampir sebagian besar petani menghadapi permasalahan adopsi teknologi karena lemah
dalam permodalan. Di sisi lain lembaga perbankan sering tidak bisa diakses oleh petani
karena berbagai faktor.


Data dan Sumber Data
Makalah dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa
meliputi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Selatan pada awal tahun 2007. Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM
terpilih dan nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan
wawancara individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner.
Jenis data primer yang dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi
organisasi dan manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan
peluang pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan
meliputi: karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani.
Selain data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi
berbagai dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan kelembagaan
keuangan mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit Lembaga Keuangan
Mikro (LKM).
Penganalisisan data secara garis besar dilakukan secara deskriptif kualitatif,
dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap
perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan pendekatan pada aspek
kekuatan (= strengthen), kelemahan (= weaknesses), peluang (= opportunity ) dan
ancaman (= threat ) atau disingkat SWOT.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
Hasil identifikasi di lapangan menjumpai terdapat tiga kategori bentuk LKM yang
berkembang yakni LKM Bank, LKM Koperasi dan LKM bukan Bank bukan Koperasi.
Masing-masing LKM menerapkan skema perkreditan yang berbeda. Pola operasional
LKM Bank mengikuti pendekatan perbankan umum/ konvensional, LKM Koperasi
menerapkan pola simpan pinjam sedangkan LKM bukan Bank dan Bukan Koperasi pola
operasionalnya beragam.
Skema perkreditan LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) tersebut meliputi
replikasi pola Grameen bank, Gabungan Kelompok Tani dan Unit Permodalan Pengelola
Permodalan Kelompok Petani (UPPKP). Pengelolaan keuangan oleh Gabungan Kelompok
Tani dan UPPKP pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem
bergulir. Capital yang digunakan bersumber dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Secara faktual, pelayanan LKM contoh di lokasi pengkajian telah menunjukkan
keberhasilan. LKM yang mereplikasi pola GB di Nanggung Bogor-Jawa Barat yang
dikelola YPKUM, LKM UMKM di Tangerang-Banten yang dibina IPB, telah menunjukan
keberhasilan, ditandai oleh beberapa indikator seperti dikemukakan Cristina dalam
Syukur (2002). Dampak keberhasilan dilihat dari beberapa perubahan antara lain adanya
peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak, peningkatan pendapatan pengusaha warungwarung
kecil, dan peningkatan aset rumah tangga.
Dari sisi kelembagaan, indikator keberhasilan ditunjukkan oleh perkembangan
jumlah peserta dan perkembangan aset serta dana yang terserap. Di LKM yang dikelola
YPKUM Bogor-Jawa Barat misalnya, dana yang sudah tersalurkan sejak tahun 1989
sampai bulan Maret 2007 mencapai Rp 12 Milyar dengan kecenderungan meningkat,
jumlah tabungan anggota mencapai 2,6 Milyard. Non Perfomance Loan (NPL), yang
menunjukkan rasio tunggakan terhadap jumlah pinjaman relatif kecil (1,9 %), jauh
dibawah batas toleransi (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan
cukup bermanfaat bagi masyarakat sebagai tambahan modal untuk usaha produktif.
Buktinya, mereka mampu membayar angsuran kredit dengan lancar.
Wilayah kerja, jumlah nasabah dan jumlah pinjaman juga terus meningkat. Pada
awalnya, jumlah nasabah hanya 10 orang pada 1 desa dan 1 kecamatan. Menginjak bulan
Maret 2007 jumlah nasabah meningkat pesat mencapai 5880 orang, tersebar di 12
kecamatan dan 83 desa. Ada sebanyak 1491 kumpulan (kelompok kecil) yang terdiri dari 5
orang) dan 394 rembug pusat (terdiri dari 2 - 6 kumpulan). Jumlah pinjaman per orangan
pun mengalami peningkatan cukup tajam, pada awalnya besarnya pinjaman anggota hanya
sebesar Rp 200.000, sekarang sudah ada yang boleh meminjam sebesar Rp 3 juta/th
dengan bunga pinjaman 2,5 % per bulan atau 30% per tahun.
Keberhasilan LKM di Tangerang teridentifikasi dari kemampuan LKM memberikan
sumbangan terhadap PAD yang volumenya cenderung meningkat. Jika pada tahun 2006
menyetor PAD sebesar Rp 289 Juta, maka setoran untuk tahun 2007 telah ditargetkan akan
mencapai Rp 600 juta. Modal awal LKM diperoleh dari Pemda Kabupaten Tangerang
semenjak 2004, dan terus didukung Pemda sampai tahun 2007 sehingga total modal
sampai tahun 2007 mencapai Rp 3,26 milyard.
Dari aset tabungan dan cash money menunjukkan LPP-UMKM telah memiliki aset
yang memadai. Tabungan yang dimiliki sampai tahun 2007 tercatat sebesar Rp 7,5 milyar
dengan total piutang yang beredar di nasabah sebesar 5,7 milyar. Sedangkan cash money

berupa aktiva lancar yang tersedia sebanyak Rp 1,3 milyar. Perputaran uang cukup besar,
sebagai gambaran total penerimaan yang diterima LPP-UMKM per bulan sekitar Rp 230
juta. Setelah dikurangi biaya operasional, lembaga ini masih mendapatkan keuntungan Rp
100 juta per bulan.
Dari sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat, meskipun awalnya digerakkan oleh
segelintir orang namun dalam perkembangannya mengalami peningkatan pesat.
Sumberdaya manusia yang terlibat dalam kepengurusan LKM tercatat 53 orang karyawan
(46 laki-laki dan 7 perempuan) dengan total wilayah layanan mencapai 7 kecamatan di
Kabupaten Tangerang.
Tingkat keberhasilan yang dicapai LKM tersebut, agak berbeda dengan LKM
sejenis yang khusus melayani kegiatan usahatani seperti LKM Prima Tani di Jatim, Sulsel
dan NTB. Pada LKM yang disebutkan terakhir, kendalanya dihadapkan pada dukungan
permodalan dan keberlanjutan kegiatan LKM terkait dengan aspek kaderisasi dan
kapabilitas pengurus LKM.
Keberhasilan pengelolaan keuangan oleh UPPKP di Gunung Kidul dicirikan oleh
semakin meningkatnya volume uang beredar di kelompok tani, dan semakin lancarnya
tingkat pengembalian pinjaman. Kondisi tersebut jauih lebih baik dibandingkan dengan
ketika pengelolaan keuangan kelompok ini masih dilakukan institusi penyalurnya (Dinas
Teknis terkait dengan Pertanian). Sementara itu di Sleman, penyaluran pembiayaan
usahatani yang dilakukan secara bergulir juga menunjukkan keberhasilan, ditandai dengan
semakin meningkatnya kemampuan anggota kelompok dalam mengembalikan pinjaman
sehingga volume pinjamannya juga lebih meningkat lagi. Kemampuan tersebut merupakan
cerminan efektifnya pinjaman dalam penggunaannya di sektor usahatani.
Hasil studi Holloh dan Prins (2006) menunjukkan bahwa disamping ada LKM yang
berhasil, ada pula yang kurang berhasil bahkan mandeg (stagnan). LKM yang pesat
pertumbuhannya adalah BPR yang beroperasi di daerah perkotaan dan semi-perkotaan,
LPD (Bali) dan BMT (terutama di Jawa Tengah & Jawa Timur). Sedangkan yang
mengalami kemandegan misalnya keluarga LKM seperti LDKP (tidak termasuk LPD) dan
BKD. Berbagai embrio LKM yang ditimbulkan proyek-proyek seperti UPK/D belum
menunjukkan kemampuan untuk menghimpun simpanan dan menjalankan kegiatan
operasionil secara berkesinambungan karena terkait dengan aspek legalitas.
Faktor Kritis Pengelolaan LKM

Keunggulan usaha mikro yang sudah teruji sampai saat ini adalah resistensinya
terhadap gejolak krisis ekonomi dan pengusaha usaha mikro biasanya merupakan debitor
yang patuh membayar kewajiban kreditnya. Di dalam pengelolaannya dihadapkan pada
faktor kritis yakni yang berkenaan dengan kelembagaan dan pengguna/nasabah.
Dari sisi kelembagaan, permasalahan terkait dengan aspek sustainabilitas/
keberlanjutan. Keberlanjutan LKM dipengaruhi oleh: (a) kapabilitas sumberdaya manusia
(SDM) pengelola LKM dan (b) dukungan seed capital. Sementara itu diperlukan juga
dukungan faktor eksternal antara lain berupa payung hukum bagi upaya pengembangan
LKM. Rancangan Undang-undang LKM masih dalam perdebatan, namun menurut analisis
para pakar ada kehawatiran bahwa UU LKM nantinya malah membatasi lingkup layanan
LKM kepada masyarakat.
Dari sisi nasabah/pengguna, aspek yang menjadi faktor kritis terkait dengan
karakteristik individu, jenis usaha dan kelayakan usahanya. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa usaha di sektor pertanian kurang dilirik oleh LKM, dengan alasan:
berisiko tinggi, perputaran cash flow lambat dan lain-lain. Dari pengalaman YPKUM
Nanggung dan LPP UMKM Tangerang diketahui proporsi dana yang dialokasikan untuk
mendukung kegiatan di sektor pertanian tidak lebih dari 5 % dari total pagu kredit LKM.
Sebagian besar dana LKM disiapkan untuk mendukung usaha di luar sektor pertanian.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika akhirnya muncul wacana untuk membentuk dan
mengembangkan LKM sendiri guna mendukung usaha di sektor pertanian.

Perspektif LKM Pertanian

Belajar dari keberhasilan pengelolaan LKM untuk diterapkan dalam membangun
LKM pertanian pada dasarnya dapat saja dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola
yang sudah berkembang dengan melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen Bank,
maupun pola UPPKP serta pola lainnya dapat dijadikan acuan salah satu alternatif skim
perkreditan untuk diaplikasikan untuk mendukung usahatani, namun dengan beberapa
penyesuaian terkait dengan karakteristik usahatani sebagai berikut:
(1). Pendekatan kelompok.
Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak
adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan dengan kelompok tani yang
sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang.
 (2). Perluasan sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu
juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok tani adalah
kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologi
usahatani.
(3). Seleksi calon pengguna kredit
Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan usahatani, salah satunya yang
penting dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha (on farm dengan off
farm dan non farm).
(4). Volume Pagu Kredit
Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan biaya
usahatani dan realisasi pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola tanam. Studi
kelayakan usahatani menjadi acuan. Tiap orang kebutuhannya akan berbeda.
(5). Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu
patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar.
(6). Waktu pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau setelah
panen. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah panen (disesuaikan dengan
perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan komposisi jumlah cicilan
mingguan lebih besar dari pada cicilan setelah panen, misal 70% berbanding 30%.
(7). Pendampingan dan Monitoring
Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah
selama proses pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya.
(8). Pelatihan
Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus
meningkatkan kapabilitas manajemen LKM

Langkah Strategis Inisiasi LKM
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di sektor
pertanian selain harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional
hendaknya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain terkait
dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun terakhir.
Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada
mekanisme yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah
kegiatan yang mengarah pada operasionalisasi kegiatan.
(2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh
pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas pengembangan pertanian.
(3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak melakukan
kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada keragaan
organisasi kelompok tani yang difokuskan pada kondisi kinerja organisasi
kelompok tani
(4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha
kelompok (penyediaan seed capital).
(5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam
melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan
dana.
(6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang
berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan
lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
(7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas
pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada
nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.


KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi
aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga
perbankan umum/bank konvensional;
 (2) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun
keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim
perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh
relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari
10 % terhadap total plafon LKM;
(3) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek
legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan
ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna
jasa layanan LKM;


Saran
Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan
adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM,
dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna
kredit.





DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan
Mikro. http://www.profi.or.id/ind/.
Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga
Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8.
www.ekonomirakyat.org.
Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003
Holloh, D dan Hendrik Prins. 2006. Pengaturan/Peraturan, Pengawasan & Dukungan Bagi
Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi.
http://profi.or.id/ind/downloads/ThirdWindowsummary_MFIstudy_translation_Ind_
.pdf
Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap
Kinerja Lembaga Pedesaan. Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat.
www.ekonomirakyat.org
Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi
Kemiskinan Terkait Dengan Kebijakan otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal
Ekonomi Pertanian. www.ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit
Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB.
Syukur, M., 2006. Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang
Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1 Nomor 1.
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar
Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai
Kemiskinan.Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus.
http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo-1.pdf

 sumber:
http://makalahjurnalskripsi.com/wp-content/uploads/2009/12/contoh-jurnal-ekonomi-fenomena-lembaga-keuangan-mikro.pdf