Senin, 23 Mei 2011

Hukum dan Hukum Ekonomi

Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Dalam pembagiannya hukum dikelompokkan menjadi 2 yaitu hukum public dan hukum privat.
Hukum public adalah hukum yang menitikberatkan pada perlindungan hukum,, sedangkan hukum privat adalah hukum yang menitikberatkan pada kepentingan individu atau perorangan.
1. Hukum Public
Hukum public merupakan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan begara dengan alat-alat perlengkapan Negara dan antara Negara dengan perorangan yang menyangkut kepentingan umum.
Penyelesaian masalah hukum public dilakukan pemerintah karena menyangkut kepentingan umum.
Hukum public terdiri atas hukum materiil dan hukum formal.
Hukum materiil adalah hukum yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah dan larangan.
Hukum formal adalah hukum yang biasa dikenal dengan hukum proses atau hukum acara yaitu hukum yang memuat peraturan mengenai cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau peraturan mengenai cara mengajukan suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara hakim member keputusan.

Yang termasuk dalam hukum public yaitu :
a) Hukum Tata Negara (HTN)
Adalah hukum yang mengatur organisasi Negara, meliputi bentuk Negara, bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga Negara, hubungan antar lembaga Negara, hubungan pemerintah dengan pusat dan daerah, dan hak erta kewajiban Negara.
b) Hukum Administrasi Negara (HAN)
Merupakan sekumpulan peraturan hukum yang mengatur cara bekerjanya alat perlengkapan Negara dalam memenuhi tugas masing-masing serta dalam hubungan dengan alat perlengkapan lainnya.
Menurut Vegting, HAN dan HTN mempunyai lapangan penyelidikan yang sama. Perbedaan antara HAN dengan HTN terletak pada cara pendekatan yang digunakan.
1) HTN untuk mengetahui organisasi Negara beserta badan-badan lainnya.
2) HAN untuk mengetahui bagaimana cara Negara serta organ-organ lainnya melaksanakan tugas.


c) Hukum Pidana
Adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman kepada orang yang melanggarnya, serta cara mengajukan perkara ke pengadilan. Hukum pidana hanya menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat dikenai hukuman beserta hukumnya.
Dalam hukum pidana dikenal adanya asas legalitas, yaitu asas yang menyatakan bahwa suatu peroistiwa atau perbuatan pidan belum dapat dikenai hukuman, selain atas kekuatan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sebelum perbuatan itu dapat dibuktikan.
Dalam hukum pidana dikenal juga adanya asas opportunitas, yaitu bahwa demi kepentingan umum, maka penuntut umum (jaksa) dapat tidak melakukan penuntutan terhadap pelaku perbuatan pidana tertentu.
d) Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana disebut juga sebagai hukum pidana formal. Adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara alat-alat penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana.
e) Hukum Internasional
Hukum Internasional dibagi menjadi dua bangian yaitu :
• Hukum Internasional Publik, adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas-batas Negara yang bukan bersifat perdata.
• Hukum Perdata Internasional, adalah keseluruhan kaidah atau asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata antar subyek hukum internasional.

2. Hukum Privat
Hukum privat disebut juga hukum sipil, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar orang satu dengan yang lainnya dan menitikberatkan pada kepentingan individu.

Yang termasuk hukum privat yaitu :
a) Hukum Perdata
Adalah rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antar ornag yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepentingan perorangan.
b) Hukum Acara Perdata
Adalah peraturan hukum yang mengatur cara-cara memelihara mempertahankan hukum perdata materiil atau peraturan-peraturan mengenai cara mengajukan suatu perkara perdata ke muka pengadilan perdata serta mengatur cara hakim perdata memberikan putusan.


Hukum Ekonomi

Hukum ekonomi adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.
Menurut Sunaryati Hartono, hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai 2 aspek yaitu :

1.Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi
2.Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata diantara seluruh lapisan masyarakat.

Hukum ekonomi dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1.Hukum ekonomi pembangunan, adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
2.Hukum ekonomi social, adalah yang menyangkut pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia indonesia.

Contoh hukum ekonomi :
1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.
2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.
3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.
4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.
5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.

Hukum perdata terbagi menjadi 4 bagian

a. Hukum tentang seseorang
memuat tentang peraturan-peraturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam
hukum, peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakaan untuk
bertindak sendiri melaksanakan haknya itu srta halhal yang mempengaruhi
kecakapan- kecakapan itu.

b. Hukum tentang kekeluargaan
mengatur hal-hal tentang hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan
antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curetele.

c. Hukum kekayaan
mengatur tentang perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang yang dimaksudkan ialah
jumlah segala hak dan kewajiban orang itu dinilai dengan uang.

d. Hukum warisan
mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jikalau meninggal.

Hukum Perikatan

Perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perjanjian. Adapun yang dimaksudkan perikatan adlah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membeeri hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

Adapun barang yang dapat dituntut menurut undang-undang adalah:
1. menyerhkan suatu barang.
2. melakukan suatu perbuatan.
3. tidak melakukan suatu perbuatan.

Macam-macam perikatan :

1. Perikatan berisyarat
Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

2. perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu.
Perbedaan antara ketetapan bersyarat dengan ketetapan waktu adalah:
a. berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan
terlaksana
b. suatu hal yang pasti akan datang meskipun mungkin belum dapat
ditentukan kapan datangnya

3. perikatan yang membolehkan memilih.
Ini adalah suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.

4. perikatan tanggung menanggung
Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai
pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.

5. perikatan yang dpat dibagi dan tidak dapat dibagi

6. perikatan dengan penetapan hukuman

7. perikatan yang lahir dari undang-undang

Perikatan ini terbagi lagi menjadi dua bagian:

1) yang lahir dari undang-undang saja
2) yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang
Perikatan yang lahir dari undang-undang adlah perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. Sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang diperbolehkan jika seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan, perbuatan yang demikian menimbulkan suatu perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban dipihak lain untuk mengemabalikan pembayaran-pembayaran itu
8. Perikatan yang lahir dari perjanjian
Untuk menjadi suatu perjanjian yang sah haruslah memenuhi syarat
berikut:
a. perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri
b. kecakapan untuk membuatsuatu perjanjian
c. suatu hal tertentu yang diperjanjikan

Perikatan bisa berakhir apabila:

1. karena pembayaran
2. penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarakan itu disuatu tempat.
3. pembaharuan hutang
4. kompensasi atau perhitungan timbale balik
5. pencampuran hutang
6. pembebebasan hutang
7. hapusnya barang yan dimaksudkan dalam perjanjian
8. pembatalan perjanjian
9. akibat berlakunya suatu syarat pembatalan
10. lewat waktu

Adapun beberapa contoh dari suatu perjanjian yakni:
1. Perjanjian jual beli
Adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.
2. Perjanjian sewa menyewa
Ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untukdipkai selama jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu tertentu.

Pihak penyewa memikul dua hal pokok yakni:

1. Membayar uang sewa pada waktunya.

2. Memelihara barang yang disewa

3. Pemberian atau hibah
Adalah suatu perjanjian dimana pihak yang menyanggupi dengan Cuma- Cuma dengan secara
mutlak memberikan suatu benda pada pihak lainnya.
4. Persekutuan
Yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang bermufakat untuk bekerja sama dalam lapangan
ekonomi dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh

Hukum Perjanjian

A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan,
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat
jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan
dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak
tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum
yang muncul karena kehendaknya sendiri.

B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut
ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap
perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah
bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku
yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang
membuat suatu perjanjian.
Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun
berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan
tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya.
Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal
demi hukum (Pasal 1446 BW).
Hukum Perjanjian Lista Kuspriatni
Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 2
3. suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarang
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan
berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan
keempat
mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan
perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak
terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana
Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
- TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan
supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut.
Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
- TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena
perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
- Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
- Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk
kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier
untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga
sesungguhnya).
Dari uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat
di atas tidak
Terpenuhi ?
Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
di atas.
Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak
didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut
batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada,
dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim.
Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti
perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau
dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan
(kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau
pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka
perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.

Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi
yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti-rugi
2. Dilakukan pembatalan perjanjian
3. Peralihan resiko
4. Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim

Perjanjian, baik ditinjau dari sudut hukum privat maupun publik, sama-sama memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang memperjanjikan jika sudah memenuhi syaratsyarat
yang ditentukan untuk dinyatakan sah. Namun berbeda dengan perjanjian yang
berlaku dalam lapangan hukum privat yang hanya mengikat kedua belah pihak, dalam
lapangan hukum publik perjanjian mengikat bukan hanya kedua belah pihak namun juga
pihak ketiga.
Selain itu subjek perjanjian dalam lapangan hukum privat adalah individu atau badan
hukum, sementara subjek perjanjian dalam lapangan hukum publik adalah subjek
hukum internasional yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan
pembebasan.
Perbedaan Perikatan dan Perjanjian
Pada prinsipnya perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, dimana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan yang lain berkewajiban
memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua pihak saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian akan
menimbulkan perikatan.

Selasa, 10 Mei 2011

ASPEK HUKUM PERANAN BUMN DALAM MEMEBRIKAN PINJAMAN MODAL KEPADA PENGUSAHA KECIL DAN KOPERASI DI KOTA MEDAN

ABSTRAK
Aspek Hukum Peranan BUMN Dalam Memberikan Pinjaman Modal Kepada Pengusaha Kecil Dan Koperasi Di Kota Medan (Studi Pada PT. Jasa Raharja (persero) Cabang Sumut, Medan).
Dalam rangka memberdayakan ekonomi usaha kecil dan koperasi, pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan yang memberikan fasilitas atau kegiatan mulai dari perkreditan sampai dengan memecahkan masalah pemasaran yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Penelitian dilakukan untuk mengetahui peranan BUMN dalam memberikan pinjaman modal kepada Pengusaha Kecil dan Koperasi, dan bentuk perjanjian dan tanggung jawab bagi para pihak, serta penyelesaian jika timbul sengketa antara pemberi pinjaman modal dengan pihak peminjam. Lokasi penelitian di Kota Medan. Penetapan sampel dilakukan seeara purposive. Data diperoleh dengan cara studi dokumen, wawancara serta menyebarkan kuesioner. Penelitian ini bersifat deskriptif dan data dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan BUMN dalam memberikan pinjaman modal sangat dibutuhkan oleh pengusaha kecil karena bunga yang kecil. Namun banyak pengusaha kecil yang belum dapat memanfaatkan fasilitas ini karena terbatasnya dana yang tersedia. Selanjutnya perjanjian peminjaman tersebut dilakukan secara tertulis, serta jika timbul sengketa antara para pihak (kreditur dengan debitur) biasanya diselesaikan melalui musyawarah dan belum pernah sampai diproses melalui pengadilan. Disarankan agar pihak peminjam benar-benar mematuhi isi perjanjian dan mempergunakannya sesuai peruntukannya, serta memberikan informasi yang jelas kepada pengusaha kecil agar mereka bisa memanfaatkan bantuan pinjaman tersebut guna pengembangan usahanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Usaha kecil yang merupakan bagian integral dunia usaha nasional mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya. Usaha kecil merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Bagi pengusaha kecil dan koperasi yang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan usahanya adalah bidang permodalan. Pengusaha kecil masih merasa sulit untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari Bank, yang lebih menyukai pemberian kredit kepada pengusaha basar. Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak mampu menggunakan jasa perbankan untuk mengembangkan
usahanya, sehingga bagi pengusaha kecil tersebut usahanya tidak dapat berkembang atau bahkan terhenti sama sekali.
Atas dasar kenyataan tersebut pemerintah menghimbau kepada seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan dasar program pembinaan pengusaha kecil dan koperasi melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 316/KMK.016/1994 tentang Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui program mitra binaan.
Dengan adanya keputusan tersebut pada saat ini seluruh BUMN diwajibkan menyisihkan keuntungan dari usahanya untuk disalurkan kepada pengusaha kecil dan koperasi.
Kenyataan inilah yang mendorong peneliti untuk memilih judul ini, agar lebih dapat mendalami sistem pembinaan bagi pengusaha kecil dan koperasi serta sampai sejauhmana peran BUMN khususnya PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Medan di dalam pelaksanaan program pembinaan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dikemukakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana peranan BUMN dalam memberikan pinjaman modal kepada pengusaha kecil dan koperasi
2. Bagaimana bentuk perjanjian dan tanggung jawab bagi para pihak.
3. Bagaimana penyelesaiannya jika timbul sengketa antara pemberi pinjaman modal dengan pihak peminjam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Pinjam Meminjam
Perjanjian pinjam meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Perdata mempunyai sifat riil, hal ini disimpulkan dari kala-kala Pasal 1724 KUH Perdata yang berbunyi: "Pinjam meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula". (Mariam Darus Badrulzaman, 1991:25).
Asser Kleyn mengatakan defenisi ini tidak tepat. "Kalimat barang yang menghabis karena pemakaian (verbruitbare zaken) seterusnya disebut "barang yang dapat diganti (vervangbare zaken)".
Dengan demikian ketentuan itu berbunyi "perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak kesatu "memberikan" kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat diganti dan seterusnya..."
Bahwa perjanjian peminjaman bersifat riil, tersimpul dari kalimat "pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain" dan bukan "mengikatkan diri" untuk menyerahkan pinjaman.
Perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian riil, perjanjian baru terjadi setelah ada penyerahan (overgare), selama benda (uang) yang dipinjamkan belum diserahkan maka Bab XIII KUH Perdata belum dapat diterapkan.
Apabila dua pihak telah sepakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka tidak langsung bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi, yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam mengganti.
Untuk tidak menimbulkan kekeliruan terhadap perjanjian pinjam meminjam ini, maka harus dibedakan dari perjanjian pinjam pakai. Beberapa kriteria yang membedakannya antara lain:
1. Pada persetujuan pinjam meminjam, objek persetujuannya boleh berupa barang yang menghabis dalam' pemakaian yang dapat diganti dengan barang sejenis. Sedang pada perjanjian pinjam pakai objek persetujuan tidak boleh berupa barang yang habis terpakai. Maka konsekuensinya pada persetujuan pinjam meminjam, pengembalian barang boleh dilakukan dengan barang yang sejenis, keadaan dan jumlahnya, sedang pada pinjam pakai pengembalian barang kepada pihak yang meminjamkan harus dalam keadaan innatura.
2. Pada perjanjian pinjam meminjam, risiko kerugian dan musnahnya barang yang dipinjam, sepenuhnya menjadi beban pihak peminjam. Sedang pada pinjam pakai, risiko musnahnya barang sepenuhnya berapa pada pihak yang meminjamkan.
3. Pada pinjam meminjam, si peminjam diwajibkan untuk membayar kontra prestasi atas pemakaian barang/uang yang dipinjam. Sedang pada pinjam pakai, pemakaian atas barang adalah secara cuma-cuma tanpa kontra prestasi.
4. Pada pinjam meminjam, barang yang dipinjam langsung menjadi milik si peminjam, terhitung sejak saat penyerahan. Sedang pada pinjam pakai, barang yang dipinjam hanya untuk dipakai saja, sedang hak milik tetap dipegang oleh pihak yang meminjamkan.
Walaupun di dalam definisi yang diberikan Pasal 1754 KUH Perdata tidak disebutkan tentang uang, tetapi melihat kriteria perbedaan di atas, maka uang sebagai abjek perjanjian adalah termasuk dalam perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian hutang piutang dan bukan perjanjian pinjam pakai.
Prof. Subekti, SH, mengatakan "dapat juga terjadi bahwa barang yang menghabis karena pemakaian, diberikan dalam pinjam pakai, yaitu jika dikandung maksud bahwa ia hanya akan dipakai sebagai pajangan atau dipamerkan". (Subekti, 1985: 126).
Pada prinsipnya abjek persetujuan ini adalah segala barang pada umumnya. Tetapi bila kita tinjau dari pengertian yang disebutkan Pasal 1754 KUH Perdata di atas, maka subjek utama dari persetujuan ini adalah barang yang dapat habis dalam pemakaian ataupun berupa barang yang dapat diganti dengan keadaan dan jenis yang sama maupun berupa uang.
Barang-barang yang dipinjamkan, haruslah dalam jumlah tertentu. Dalam hal peminjaman uang, maka hutang yang terjadi karena peminjaman hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan (Pasal 1756 KUH Perdata).
Pada waktu pengembalian, haruslah dengan barang lain dalam jumlah, jenis dan keadaan yang sama. Apabila pengembalian ditukar dengan barang lain yang bukan sejenis, maka persetujuan demikian bukan lagi persetujuan pinjam barang yang habis dalam pemakaian/pinjaman uang. Tetapi persetujuan seperti itu sudah termasuk ruang lingkup bentuk persetujuan "tukar menukar".
"Peminjaman uang termasuk pada persetujuan peminjaman pada umumnya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang berkaitan dengan persetujuan pinjam meminjam barang yang habis terpakai, berlaku juga terhadap persetujuan peminjaman uang" (M. Yahya Harahap, 1992: 302).
Perjanjian-perjanjian uang menurut Bab XIII Buku III KUH Perdata mempunyai sifat riil. Artinya perjanjian ini baru terjadi setelah ada penyerahan. Selama benda (uang) yang diperjanjikan belum diserahkan, maka belumlah dikatakan perjanjian pinjaman uang menurut Bab XIII KUH Perdata.
Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa perjanjian pinjaman uang menurut Bab XIII KUH Perdata adalah bersifat riil, jika dilihat dari isi Pasal 1754 KUH Perdata yaitu dari kata "memberikan". Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi. Yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam meminjam.
Apabila uang diserahkan kepada pihak peminjam lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian undang-undang menurut Bab XIII KUH Perdata.
Demikian juga menurut apa yang dikatakan oleh Wirjono Prodjodikoro, "bahwa perjanjian pinjam uang bersifat riil, tersimpul dari kalimat, "pihak kesatu menyerahkan uang itu kepada pihak lain" dan bukan "mengikatkan" diri untuk menyerahkan uang" (Wirjono Prodjodikoro, 1991: 138).
Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam uang (hutang piutang), maka pihak penerima pinjaman (debitur) menjadi pemilik dari barang/uang yang dipinjamnya dan apabila barang itu musnah bagaimanapun juga, maka hal itu merupakan tanggung jawabnya (Pasal 1755 KUH Perdata).
Dalam peminjaman uang, hutang yang terjadi karenanya hanyalah terdiri atas sejumlah uang yang disebutkan dalam perjanjian. Jika sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan,dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu (Pasal 1756 KUH Perdata). Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang terhutang, haruslah berdasarkan pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian, sedangkan yang harus dikembalikan si peminjam ialah jumlah nominal dari pinjaman. Jadi seluruh jumlah nominal pinjamanlah yang harus dikembalikan oleh si peminjam. Bertitik tolak dari pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal hutang piutang atau pinjam meminjam uang, terkandung di dalamnya kredit, bunga atas suatu uang, privilege (tagihan-tagihan yang bersifat diistimewakan) dan juga mengenai ganti rugi. Keseluruhan ini adalah wajib dibayarkan oleh debitur sebagaimana kreditur berhak menerimanya yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.
Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, maka dalam perjanjian pinjam meminjam ada 3 point yang sangat penting, yaitu: berlakunya sebagai undang-undang, tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, dan pelaksanaannya dengan itikad baik (Abdul Kadir Muhammad, 1992: 97).
Di dalam suatu perjanjian, dapat timbul resiko penyelewengan dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penyelewengan-penyelewengan ini dapat timbul karena berbagai faktor, baik yang disengaja maupun tidak disengaja.
Faktor kesengajaan terjadi apabila pihak pengusaha kecil tidak mau melakukan kewajibannya untuk membayar kembali pinjaman modal yang telah diberikan kepadanya. Hal ini tentu saja menimbulkan perselisihan-perselisihan antara kedua belah pihak, sehingga untuk mengatasi hal tersebut agar tidak menyimpang dari tujuan pembinaan yang diharapkan, maka perselisihan tersebut harus ada penyelesaiannya.
Penyelesaian perselisihan ini dieantumkan di dalam perjanjian kerja sama yang telah disepakati yaitu jika terjadi perselisihan atas perjanjian itu kedua belah pihak sedapat mungkin diselesaikan seeara musyawarah dan mufakat. Jika tidak, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkannya melalui Pengadilan Negeri.
B. Landasan Hukum Pemberian Pinjaman
Dalam pengembangan usaha, aspek permodalan memang merupakan salah satu kendala dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para pengusaha kecil. Walaupun demikian kendala lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah teknis produksi dan kemampuan pemasaran serta manajemen, juga masih perlu diperhatikan. Bagi Perbankan sendiri, masalah manajemen seringkali membuat mereka menjadi regu untuk memberikan fasilitas kredit kepada pengusaha kecil. Untuk itu diperlukan terobosan-terobosan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Karena pembangunan ekonomi akan berjalan baik, bila ketenangan sosial dan politik terjamin. Ketenangan sosial dan politik hanya akan tereapai atau dapat dipertahankan, apabila perkembangannya
©2004 Digitized by USU digital library 4
perusahaan-perusahaan besar diikuti berkembangannya pengusaha menengah kecil.
Upaya yang bisa ditempuh untuk mengatasi kesenjangan pengusaha besar, menengah dan kecil, sekaligus juga mempercepat dapat masuk kejajaran pebisnis atas Indonesia, adalah dengan meningkatkan kualitas sumber data manusianya. Peningkatan kualitas SDM ini dapat melalui pemantapan jiwa dan semangat kewiraswastaan, serta peningkatan profesionalisme dan keterampilan teknis usaha. Di samping itu juga perlu penciptaan iklim usaha yang kondusif berupa kebijaksanaan dan peraturan pemerintah yang dapat memperluas peluang usaha.
Masalah lain yang juga perlu ditumbuhkan dalam rangka mengangkat citra pengusaha menengah kecil adalah masalah "kemitraan usaha" antara yang besar, menengah dan yang kecil. Diharapkan, melalui kemitraan ini akan mendorong lebih cepat pengusaha menengah kecil masuk dalam jajaran pebisnis atas, sehingga akan lebih berperan dalam perekonomian nasional yang selama ini belum pernah diperhitungkan.
Berkaitan dengan kebijaksanaan dan peraturan pemerintah yang dapat memperluas peluang usaha, telah dikeluarkan beberapa peraturan. Sebagai landasan kebijaksanaan untuk memperluas lapangan usaha dapat terlihat dari GBHN 1998 yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengembangkan kerjasama yang sehat di antara pengusaha besar, menengah dan kecil. Di samping itu tersirat dengan jelas dalam ketetapan MPR No.I/MPR/1993 tentang GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang tahap kedua. Di dalam ketetapan itu, antara lain menetapkan pertumbuhan ekonomi harus diarahkan. Hal ini untuk mendapatkan peningkatan pendapatan masyarakat secara merata, serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan sosial.
Secara umum, hubungan kerjasama usaha yang ditujukan untuk memperkuat struktur industri nasional dilakukan melalui program keterkaitan "Bapak Angkat" dengan pengusaha kecil. Hal ini berpijak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Di dalam Pasal 10 disebutkan bahwa Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi:
1. Keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional.
2. Keterkaitan antara usaha industri dengan sektor-sektor bidang ekonami lainnya, meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional.
3. Pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta dan swadaya masyarakat. Pala keterkaitan sistem Bapak Angkat ini nampaknya akan terus dikembangkan. Sebagaimana yang ditegaskan aleh Presiden Suharto ketika menyerahkan penghargaan upakarti tanggal 16 Desember 1989 yang lalu, bahwa sistem Bapak Angkat yang semula dikembangkan dalam lingkungan BUMN akan terus dikembangkan dan ditingkatkan, sehingga mencakup pula usaha-usaha swasta.
Pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi melalui BUMN dilaksanakan berdasarkan himbauan pemerintah tentang Bapak Angka, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan RI No.1232/KMK.O13/1989 tanggal 11 Nopember 1989.
Selanjutnya diterbitkan pula Keputusan Menteri Keuangan RI No.316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laga BUMN.
Kemudian dirubah lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan RI No.60/KMK.O16/1996 tanggal 9 Pebruari 1996 tentang perubahan isi Pasal 3 dari Keputusan Menteri Keuangan sebelumnya. Pada Pasal 3 yang terbaru ini disebutkan dana yang dipergunakan untuk pembinaan usaha kecil dan Koperasi ini berasal dari:
©2004 Digitized by USU digital library 5
a. Bagian pemerintah atas laba BUMN sebesar antara 1 %-3% dari sejumlah laba perusahaan setelah pajak.
b. Pengernbalian pinjaman dan bunga dari mitra binaan.
c. Hasil bunga yang berasal dari penempatan dan pembinaan yang belum tersalurkan.
Untuk mendukung semua kegiatan ini, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995. Di dalam Pasal 4 disebutkan bahwa pemberdayaan Usaha Kecil bertujuan:
a. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.
b. Meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional.
Di lingkungan PT. Jasa Raharja (Persero) sendiri, sebagai dasar hukum adanya Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi, selain mengacu kepada ketentuan tersebut di atas juga berdasarkan keputusan bersama antara Direktur Jenderal Pembinaan BUMN Depatemen Keuangan dengan Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil Departemen Koperasi dan Pengusaha Kena Pajak Nomor:
KEP.1515/BU /1994
tanggal 14 Oktober 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan
02/ SKB /PPK/ X /1994
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana Dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada Pasal 1 disebutkan tujuan Keputusan Bersama ini adalah:
1. Untuk lebih mengefektifkan pengeluaran dana dan pelaksanaan pembinaan oleh BUMN kepada Usaha Kecil dan Koperasi;
2. Untuk meningkatkan koordinasi dalam pelaksanaan pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
3. Mewujudkan Usaha Kecil dan Koperasi yang mandiri dan tangguh.
4. Mewujudkan hubungan kemitraan antara BUMN dengan Usaha Kecil dan Koperasi.
Inilah yang menjadi landasan hukum pemberian bantuan modal kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. Dalam pelaksanaannya telah banyak kelompok usaha kecil dan koperasi serta pengusaha ekonomi lemah yang menjadi mitra binaan dari PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara.
C. Peranan BUMN Meningkatkan Ekonomi Rakyat
Keberadaan BUMN dalam perekonomian Indonesia merupakan bukti nyata dari negara turut berperan dalam menata kehidupan perkenomian nasional. Bahkan BUMN bisa dikatakan sebagai pilar perekonomian Indonesia sejajar dengan kedua pelaku ekonomi lainnya badan usaha swasta dan koperasi.
BUMN secara implisit dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai aparat untuk melaksanakan usaha negara merupakan bukti bahwa keberadaan BUMN akan tetap diharapkan sepanjang tidak memberatkan pemerintah.
Peran BUMN saat ini adalah mengemban misi pembangunan sebagai agen pembangunan. Disebut stabilisator ekonomi pembangunan, BUMN lebih berperan sebagai stabilisator ekonomi. Karena peran BUMN sangat besar dalam sistem ekonomi Indonesia jika dibandingkan dengan swasta dan koperasi.
©2004 Digitized by USU digital library 6
Jika swasta berperan yang sebesar-besarnya di dalam bidang di mana persaingan dan kerjasama berdasarkan motivasi memperoleh laba, memberikan hasil terbaik bagi masyarakat diukur dengan jenis, jumlah, mutu serta harga barang, atau jasa yang disediakan. Dan jika koperasi berperan sesuai dengan hakikatnya sebagai suatu kekuatan ekonomi yang berwatak sosial, maka BUMN tersebut akan berperan sebagai:
a. Perintis di dalam penyediaan barang dan jasa di bidang-bidang produksi yang belum cukup atau kurang merangsang prakarsa dan minat swasta.
b. Pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang penting bagi negara.
c. Pengelola dan pengusaha di bidang-bidang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
d. Imbangan bagi kekuatan pasar pengusaha swasta.
e. Pelengkap penyediaan barang-barang dan jasa yang belum cukup disediakan oleh swasta dan koperasi.
f. Penunjang pelaksanaan kebijaksanaan negara (Putu Sarga, 1992: 52-53).
Peran BUMN yang terdapat di atas adalah penjabaran Demokrasi Ekonomi yang merupakan penegasan dari Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1993 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero yang mencantumkan tujuan BUMN, di antaranya:
1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi negara pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
2. Memupuk keuntungan atau pendapatan.
3. Menyelenggarakan kemantaatan umum berupa barang dan jasa bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
4. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
5. Menyelenggarakan kegiatan usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dengan antara lain menyediakan kebutuhan masyarakat, dalam bentuk barang maupun dalam bentuk jasa dengan memberikan pelayanan yang bermutu.
6. Turut aktif memberikan bimbingan kepada sektor swasta, khususnya kepada golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi.
7. Turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan lainnya.
Bertitik tolak dari hal-hal tersebut di atas, maka PT. Jasa Raharja (Persero) berdiri tegak mensejajarkan diri dengan BUMN lain berperan sebagai agen pembangunan. Salah satu perwujudan dari peran serta sebagai agen pembangunan tersebut saat ini tengah dilakukan PT. Jasa Raharja (Persero) adalah pencanagan pembinaan golongan ekonomi lemah/industri kecil dan koperasi.
Pencanangan pembinaan industri kecil/pembinaan golongan ekonomi lemah dan koperasi oleh dan di lingkungan BUMN tidak lain adalah merupakan suatu upaya pengabdian masyarakat yang mempunyai nilai timbal balik yang positif, baik secara ekonomis, sosial maupun politis.
Dikatakan demikian karena bertujuan utama dari pengabdian tersebut adalah untuk:
1. Turut serta meningkatkan aktivitas perekonomian masyarakat, dengan mendayagunakan sumber daya manusia di lingkungan serta yang dibina, yang mampu menghasilkan produk-produk berorientasi ekspor.
2. Turut serta meningkatkan nilai tambah produk-produk industri kecil, sehingga pada akhirnya diharapkan menunjang pertumbuhan jenis ekspor komoditi non migas yang memiliki keluaran bagi pertambahan devisa negara
©2004 Digitized by USU digital library 7
Demikian ini adalah konsep PT. Jasa Raharja, yang secara idealisme diharapkan bahwa pembinaan ini harus merata berjalan secara berkesinambungan dengan penyebarannya yang merata dan dimonitor secara kontinu. Dan untuk itu diupayakan suatu pola yang langsung menyentuh masyarakat pedesaan pada sentra binaan.
D. Hubungan Dalam Pemberian Bantuan Modal
Pengertian keterkaitan usaha atau kemitraan adalah pengertian kerjasama yang dilakukan atas dasar kemampuan yang seimbang. Kalau tidak, maka yang lemah ditelan oleh yang kuat atau kerjasama tersebut hanya dilakukan berdasarkan rasa belas kasihan. Selain itu juga harus ada saling ketergantungan/keterkaitan usaha karena kepentingan yang sama dan saling menguntungkan agar kerjasama tersebut efektif dan berkesinambungan. Kemitraan tidak boleh bersifat subsidi dan situasional di mana salah satu pihak memerlukan mitra usahanya hanya apabila diperlukan saja dan sewaktu-waktu dapat diganti.
Sistem pembinaan mitra usaha adalah hubungan keterkaitan antara perusahaan besar/menengah (sektor produksi atau jasa) dengan industri kecil atau asas saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, yang merupakan suatu pengejewantahan asas kekeluargaan dari Pasal 33 UUD 1945.
Keterkaitan usaha di antara pelaku ekonomi yaitu koperasi, BUMN dan swasta merupakan tekad nasional dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terutama dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua yang diharapkan dapat mengantarkan kepada tercapainya Demokrasi Ekonomi Pancasila. Oleh karena itu peranan pemerintah dikatakan perlu untuk menetapkan menjamin kebijaksanaan dan mekanisme tepat yang dapat menjamin kelangsungan kemitraan.
Pelaksanaan hubungan kemitraan sebagaimana dimaksud diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha antara usaha kecil dengan usaha besar dalam melaksanakan hubungan kemitraan maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha.
Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi, serta pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi.
Proses kemitraan usaha ini harus sebagai proses jangka panjan, dimana masing-masing pihak yaitu koperasi, BUMN, dan swasta memiliki kemampuan yang seimbang dan selaras sehingga kerjasama yang terjadi dapat dilakukan atas dasar kebutuhan nyata dari pihak yang bersangkutan dan saling menghormati.
Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan ruang lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta bentuk pembinaan dan pengembangan.
Di dalam kemitraan ini proses hubungan keterkaitan pembinaan usaha di dalam pola kemitraan dilaksanakan dengan berbagai pola:
a. Intiplasma, hubungan kemitraan usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana, produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi.
b. Pola sub kontrak, hubungan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di dalamnya usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai bagian dari produksinya.
c. Pola dagang umum, hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha

besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
d. Pola waralaba, hubungan kemitraan yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, mark dagang, dan saluran distribusi perusahaan kepada penerimaan waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen.
e. Pola pembinaan, pola dikembangkan untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha kecil yang memiliki potensi tetapi lemah dalam modal dan pemasaran, hal ini terutama bagi hasil produksi yang berpeluang untuk dipasarkan secara luas (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995).

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELlTIAN
A.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui peranan PT (persero) Jasa Raharja Cabang Medan selaku BUMN dalam memberikan pinjaman modal kepada pengusaha kecil dan koperasi.
2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian pemberian bantuan modal tersebut serta tanggung jawab para pihak.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaiannya jika timbul sengketa antara pemberi pinjaman modal dengan pihak peminjam.
B. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai bahan masukan bagi dunia akademis dalam bidang ilmu hukum, khususnya bagi pengembangan Hukum Perjanjian dan Hukum Pembiayaan Perbankan.
2. Sebagai bahan masukan PT (Persero) A.K. Jasa Raharja, Menteri Keuangan, Gubernur KDH Tk. I Sumatera Utara, serta Kantor Wilayah Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah.
3. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat pengusaha kecil dan koperasi, bagaimana cara mendapatkan modal dengan prosedur yang mudah, murah, dan biaya ringan.
4. Sebagai usaha untuk menciptakan kepastian hukum dan ketertiban umum dan serta membantu pengembangan hukum nasional khususnya di bidang pembiayaan.



BAB IV
METODE PENELlTIAN
Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
A. Jenis dan sumber data
Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner dan wawancara dengan menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dulu. Responden tinggal memilih jawaban yang telah disusun sedemikian rupa dan tidak menutup kemungkinan untuk memberikan jawaban terbuka.
Data sekunder diperoleh dari PT (Persero) AK. Jasa Raharja Cabang Medan dengan melihat dan mempelajari perjanjian maupun dokumen yang berhubungan
dengan pelaksanaan pemberian pinjaman modal kepada pengusaha kecil dan koperasi.
Juga menghubungi pihak Kantor Wilayah Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi Sumatera Utara, Dinas Perindustrian Medan, KADIN Medan untuk mengetahui bagaimana peranannya serta pendapatnya tentang pemberian bantuan pinjaman modal tersebut.
B. Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan seeara purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah pimpinan koperasi, pengusaha kecil dan menengah yang menjadi kelompok binaan PT (Persero) AK. Jasa Raharja Cabang Medan.
Sedangkan jumlah responden yang akan diambil sebanyak 20 unit usaha dan koperasi atau sekitar 50%. Penelitian ini menggunakan teknik survei, di mana untuk memperoleh data dipergunakan instrumen penelitian berupa kuesioner, wawancara dan observasi ke lapangan.
C. Analisis data
Analisis data dilakukan seeara kualitatif. Namun demikian analisa kuantitatif juga dipergunakan berdasarkan persentase frekuensi jumlah jawaban responden yang diperoleh. Angka-angka frekuensi jawaban dan perhitungan persentase jawaban responden dimasukkan ke dalam tabel.
Penelaahan dan pembahasan penelitian ini mempergunakan metode analisis dengan disiplin ilmu sosio legal research.
Pembahasan tidak saja mempergunakan pendekatan dari bidang hukum semata tetapi juga dipergunakan ilmu penunjang lainnya terutama ilmu sosial yang ada kaitannya yaitu sosiologi hukum.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bertitik tolak dari himbauan pemerintah tentang pembinaan usaha dan koperasi yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1232/KMK.O13/1989 dan dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.O16/1994 yang pada intinya mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi serta kerja terciptanya pemerataan pembangunan melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha maka perlu dikembangkan potensi usaha kecil dan koperasi agar menjadi tangguh dan mandiri, serta mendorong tumbuhnya kemitraan antara BUMN dengan usaha kecil serta koperasi.
Untuk terlaksananya program tersebut, maka pemerintah melalui Keputusan Menteri Keuangan tersebut di alas menghimbau kepada seluruh BUMN untuk memberikan dana dari bagian laba BUMN kepada pengusaha kecil dan koperasi sebagai mitra binaan.
Walaupun kebijakan mengenai hal ini belum ada peraturan pelaksanaan undang-undang yang mengatur kewajiban bagi BUMN secara khusus serta sanksi-sanksinya, sehingga gerakan pembinaan terhadap pengusaha kecil dan koperasi ini lebih didasarkan kepada himbauan dan kesadaran masing-masing BUMN.
Oleh karena hal itu PT. Jasa Raharja yang merupakan BUMN merasa terpanggil untuk melaksanakan himbauan tersebut mempunyai karakteristik atau kekhususan tersendiri dalam melaksanakan program pembinaan pengusaha kecil dan koperasi ini, yang tentunya berbeda dengan BUMN in yang juga ikut melaksanakan program-program pembinaan pengusaha dan koperasi ini.
Perbedaan pada pola pelaksanaan pembinaan ini terjadi karena belum ada keseragaman atau hukum yang baku untuk mengaturnya, sehingga merupakan hal yang wajar bila kebijaksanaan BUMN yang satu berbeda dengan
kebijaksanaan BUMN lain, yang penting tujuan dan pembinaan itu tetap sama yaitu untuk mendorong kegairahan dan kegiatan: ekonomi, serta pemerataan pembangunan dan hasilnya.
A. Sekilas Tentang PT. Jasa Raharja (persero)
PT. Jasa Raharja (Persero) yang berdiri dan kita kenal dewasa ini merupakan gabungan dari beberapa perusahaan milik Belanda. Berdirinya Jasa Raharja ini pada hakikatnya tidak terlepas dari adanya peristiwa pengambil alihan atau nasionalisasi perusahaan milik Belanda di Indonesia yang tahapan perkembangannya dapat dibagi dalam tiga tahapan antara lain:
a. Tahapan pertama
b. Tahapan kedua
c. Tahapan ketiga.
Penjelasan dari masing-masing tahap berdirinya perusahaan PT. Jasa raharja (Persero) dapat dilihat sebagai berikut:
a. Tahapan Pertama
Adanya pengelompokan perusahaan asuransi yang dinasionalisasikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1960 juncto Pengumuman menteri Keuangan Nomor 12631/BUMN II tanggal 9 Pebruari 1960 sebagai berikut:
Nama Sebelum Dinasionalisasikan
Nama Yang Baru
- Fa. Blom & Van der Aa
- Fa. Bekoue & Mijnssen
- Fa. Sluijers & Co.
- NV. Asurantie Matschappij Djakarta
- NV. Asurantie Kantoor Langeveldt Schroder
- NV. Asurantie Kantoor OWJ Schroder
- NV. Kantor Asuransi “Kali Besar”
- PT. Maskapai Asuransi Araha Baru
Perusahaan Asuransi
Kerugian Negara
(PAKN) IKA BHAKTI
Perusahaan Asuransi
(PAKN) IKA DHARMA
Perusahaan Asuransi
Kerugian Negara
(PAKN) IKA SAKTI
b. Tahap Kedua
Selanjutnya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1961 berdasarkan Pengumuman Menteri Keuangan Nomor 294293/BUM II tanggal 31 Desember 1960 keempat PAKN (Perusahaan Asuransi Kerugian Negara) digabungkan menjadi satu dengan nama Perusahaan Asuransi Kerugian Negara (PAKN) IKA KARYA.
Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1961 tanggal 24 Maret PAKN "IKA KARYA" diubah menjadi Perusahaan Negara Asuransi Kerugian (PNAK) "EKA KARYA".
c. Tahap ketiga
Dengan meleburnya seluruh kekayaan, pegawai dan segala hutang/piutang "EKA KARYA" sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 1965 per 1 Januari 1965 dibentuk Badan Hukum Baru dengan nama PNAK "JASA RAHARJA" dengan tugas khusus yaitu:
1. Mengelola pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
2. Mengelola pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
Berdasarkan penelitian Departemen Keuangan RI yang ditegaskan Menteri Keuangan No.Kep 3/KMK/IV/1970 maka terjadi perubahan nama badan usaha menjadi Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Hal ini merupakan
tindak lanjut dari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara. Kemudian melalui penelitian kembali oleh Pemerintah Pusat Perum Jasa Raharja memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut dialihkan bentuknya menjadi Persero, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1980 status Jasa Raharja dialihkan dari Perum menjadi Persero. Pendirian PT (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja berdasarkan Akte Notaris Imas Fatimah, S.H., tanggal 28 Pebruari 1981
PT. Jasa Raharja (persero) berpusat di Jakarta dalam usahanya melaksanakan misi pemerintah serta memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya maka di setiap daerah (propinsi) didirikan Kantor Cabang dan Perwakilan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaan, perusahaan membina kerjasama yang erat dengan kepolisian, instansi-instansi pemerintah atau swasta, organda, dan perusahaan angkutan penumpang.
PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara berkedudukan di Jalan Jend. Gatot Subroto No.124 KM 5,5 Medan telah mempunyai gedung sendiri. Untuk mempermudah pelaksanaannya Jasa Raharja Cabang Sumut memiliki Kantor Perwakilan di Sibolga, Pematang Siantar, Kabanjahe, dan Kisaran serta beberapa pas penghubung di Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Binjai.
PT. Jasa Raharja (Persero) bekerja menurut apa yang telah digariskan oleh Kantor Pusat yang mana hasil-hasil kegiatannya dikirim setiap bulannya yang disusun dalam bentuk Laporan Hasil Usaha (LHU).

B. Gambaran Umum Usaha Kecil di Kota Medan
Secara geografis, jumlah luas keseluruhan Kota Medan mencapai 26.510 hektar, masing-masing 9.225 hektar diperuntukkan bagi daerah 1.862 hektar untuk sektor jasa dan 740 hektar untuk bagi penetapan lokasi perusahaan dan industri. Sisanya, seluas 14.693 hektar merupakan areal non urban, di mana 7.000 hektar di antaranya akan dimanfaatkan sebagai lahan pengembangan sektor pertanian tanaman pangan.
Kota yang sekarang dihuni oleh tidak kurang 2.005.000 jiwa, dengan perwilayahan masing-masing 2 pembantu walikota, 21 kecamatan dan 151 kelurahan dengan tingkat pertumbuhan 2,15% pertahun sudah merubah keadaan kota Medan beberapa tahun silam. Dengan pendapatan perkapita penduduk yang terus meningkat sedikit banyaknya telah melahirkan sejumlah perubahan sosial ekonomi masyarakat dari beberapa tahun sebelumnya. Gambaran kota Medan secara tifikal, sudah tidak jauh dari sebutan sebagai kola metropolitan dari "garda depan" Indonesia bagian barat, kini dan masa yang akan datang.
Dengan posisi dan letak kota Medan yang berada di dataran pantai timur Sumatera Utara, persis di antara Selat Malaka dan jajaran pegunungan vulkanis yang membujur dari barat daya sampai wilayah tenggara Pulau Sumatera menjadi daerah yang sangat strategis. Topografinya miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 m di permukaan laut, dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi.
Pertumbuhan Kota Medan, dari masa ke masa menunjukkan kemajuan yang begitu pesat, baik ditinjau dari si si kepadatan penduduk, wilayah maupun fungsi kota. Sebab utama yang mengakibatkan perkembangan kota menjadi semakin meningkat, selain perkembangan fisik karena pengaruh ekonomi, juga arus migrasi yang dari tahun ke tahun justru semakin membengkak.
Untuk melihat persentase komposisi jumlah penduduk Kota Medan, dapat dilihat dari tahun 1994. di mana jumlah penduduk Kota Medan sudah mencapai 1.876.100 jiwa yang kemudian meningkat menjadi 2.005.000 jiwa pada tahun 2000, dengan peningkatan rata-rata 1,85 persen per tahun. Di lihat dari segi kelamin, jumlah laki-Iaki berbanding seimbang dengan perempuan yaitu rata-rata 50,05 persen berbanding 49,95 persen.
Untuk mengejar ketinggalan dari propinsi lain seperti DKI Jakarta dan Surabaya yang lebih dahulu melesat sebagai kota terbesar sekaligus
“metropolitan" pertama, maka untuk mengejar ketertinggalan tersebut terutama pada sektor industri, Kota Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya akan lebih memberikan prioritas tertinggi kepada sektor industri dalam pembangunan ekonominya.
Pembangunan sektor industri di Kota Medan dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan industri yang memiliki daya saing kuat dengan tetap memanfaatkan sumber daya alam Sumatera Utara, terutama dari hasil pertanian (agro-industri).
Selain itu juga meningkatkan dan memantapkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri, melalui inovasi teknologi dan kegiatan penelitian terapan yang selanjutnya akan meningkatkan industri permesinan dan barang-barang modal.
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak Agustus 1997 ternyata tidak hanya berdampak pada usaha menengah dan besar, tetapi juga menghempaskan usaha kecil. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Kota Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil mengalami penurunan dibandingkan dengan mesa sebelum krisis terjadi.

C. Prosedur Pemberian Pinjaman
Adapun prosedur pemberian pinjaman modal kerja oleh PT.Jasa kepada pengusaha golongan ekonomi lemah adalah Pemohon mengajukan surat permohonan kepada PT. Jasa Raharja Persero) Cabang Sumatera Utara, di mana dalam surat permohonan tersebut dicantumkan data atau informasi guna dijadikan sebagai badan pertimbangan untuk dievaluasi antara lain:
1. Data pribadi, terdiri dari nama, tempat/tanggal lahir, alamat, pendidikan, jabatan sekarang, serta pengalaman kerja.
2. Data kegiatan usaha, terdiri dari nama perusahaan, alamat bidang usaha, mulai berdiri, nomor NPWP, dan izin-izin yang lain (kalau ada). Kemudian dijelaskan secara singkat riwayat dari bidang usaha tersebut yang telah dijalankan.
3. Nilai kekayaan, terdiri dari, tanah, bangunan, alat produksi, persediaan, dan lain-lain.
4. Rencana penggunaan pinjaman.
Di sini harus dijelaskan secara singkat dan terperinci penggunaan uang pinjaman modal tersebut.
5. Manfaat
Jika permohonan tersebut disetujui, maka pemohonan harus menjelaskan manfaat pinjaman modal tersebut, pengembangan usaha serta kesempatan lapangan kerja yang bakal terserap oleh usaha tersebut.
Berdasarkan permohonan yang diterima dari pengusaha golongan ekonomi lemah tersebut, maka pihak PT Jasa Raharja (Persero) kemudian melakukan kunjungan (survey) ke lokasi usaha pemohon untuk mempelajari studi kelayakan guna memperoleh bantuan. Kemudian dilakukan evaluasi atas hasil survey tersebut dan mempertimbangkan kelayakan pemohon untuk memperoleh bantuan.
Jikalau memang dianggap layak untuk memperoleh bantuan pinjaman modal, maka kemudian. diadakan penandatanganan perjanjian pinjaman antara PT. Jasa Raharja dengan peminjam.
Dalam Pasal 1 ayat (2) dari perjanjian pinjaman modal tersebut ditegaskan kepada pihak kedua (pemohon) bahwa pinjaman tersebut hanya dapat dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha yang dikelolanya dan tidak dapat dipergunakan untuk membayar hutang atau didepositokan atau kebutuhan lain di luar hal tersebut.
Mengenai imbalan dan pelunasan maka dalam Pasal 2 disebutkan:
(1) Pihak Kedua wajib membayar imbalan kepada Pihak Pertama sebesar 6% (enam persen) setahun secara menurun (sliding) untuk masa 3 (tiga) tahun, pembayaran tiga bulan pertama bulan pertama hanya bunganya saja sedangkan bulan keempat tahun pertama sampai dengan tahun ketiga membayar angsuran pokok dan bunga.
(2). Pokok pinjaman dan imbalan dibayar di setiap bulan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama ke rekening 005.000.589.001 pada PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk. Cabang Medan JI. Pemuda No.12 Medan dengan jadual sebagai berikut:
Tgl. 20 Agustus 1998 s/d 19 November 1998 Rp. 25.000,-/bln
Tgl. 20 Desember 1998 s/d 19 Agustus 1999 Rp. 176.515,-/bln
Tgl. 29 September 1999 s/d 19 Agustus 2000 Rp.169.697,-/bln
Tgl. 20 September 2000 s/d 19 Agustus 2001 Rp.160.606,-/bln
Demikian juga pada Pasal 3 dicantumkan tentang denda keterlambatan yaitu:
1) Setiap keterlambatan pembayaran imbalan dan pengembalian pokok pinjaman denda sebesar 1 % (satu persen) sebulan dari jumlah imbalan dan atau pokok pinjaman yang terlambat dibayar.
2) Denda bisa diberikan keringanan/pembebasan bila sebab keterlambatan membayar cicilan dapat diterima dan dimaklumi oleh Pihak Pertama.
Pengaturan mengenai kewajiban para pihak terdapat dalam Pasal 5 surat perjanjian yaitu tentang pengawasan dan pelaporan, di mana disebutkan bahwa:
(1) Pihak Kedua wajib menyampaikan laporan berkala triwulan kepada Pihak Pertama, sebagai bahan pembinaan selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya yang memuat perkembangan usaha berikut keuangannya
(2) Laporan keuangan tersebut memuat jumlah aktiva, hutang (kewajiban) pada akhir periode laporan serta penjualan den biaya selama periode laporan berikut penjelasan hal-hal yang dianggap penting.
(3) Pihak Pertama setiap saat dapat melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan yang diperlukan dalam rangka pembinaan Pihak Kedua wajib memberikan keleluasan pemeriksaan den memberikan keterangan secara jujur kepada Pihak Pertama.
(4) Pihak Kedua wajib memberikan laporan khusus di luar yang tersebut dalam ayat (1) sewaktu-waktu kepada Pihak Pertama bila ada hal-hal yang mengancam kelangsungan usaha yang ditanganinya atau bila dianggap perlu oleh Pihak Pertama.
Sedangkan seeara umum kewajiban para pihak diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No.316/KMKO16/1994 tentang Pedoman Pembinaan usaha Kecil dan Koperasi Melalui Pemanfaatan Dana Dari Kewajiban mitra binaan diatur dalam Pasal 9 yaitu:
a. Melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan rencana yang telah disetujui.
b. Mengelola dana dengan baik sesuai dengan reneana yang telah diajukan sebelumnya.
c. Menyelenggarakan pencatatan/pembukuan dengan tertib.
d. Membayar kembali pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
e. Menyampaikan laporan perkembangan hasil usaha setiap triwulan kepada BUMN pembina.
Kewajiban BUMN pembina diatur dalam Pasal 10 yaitu:
a. Membentuk unit khusus yang menangani pembinaan usaha kecil dan koperasi di bawah seorang direktur.
b. Menyusun rencana anggaran dana pembinaan usaha kecil dan koperasi.
c. Melakukan seleksi dan menetapkan calon mitra binaan dari daftar yang disediakan oleh Departemen Koperasi dan Pengusaha kecil
d. Menyiapkan den menyalurkan dana kepada mitra binaan.
e. Melakukan pembinaan secara teknis sepanjang terdapat keterkaitan usaha antara BUMN dengan mitra binaan.
f. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan
g. Melakukan pembukuan atas penggunaan dana pembinaan secara ekstra kompatibel dan diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan serta dipertanggungjawabkan oleh Direksi BUMN dalam RUPS untuk Persero den RPB untuk Perum.
h. Melakukan pemantauan dan evaluasi serta menyampaikan laporan pelaksanaan pembinaan setiap triwulan kepada Menteri Keuangan Cq. Dirjen Pembinaan BUMN.
i. Melakukan hasil audit BPKP atas pengelolaan dan Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh BUMN kepada Menteri Keuangan.
Bila kita kaitkan dengan isi Pasal 1754 Buku III Bab XIII KUH Perdata maka pemberian bantuan pinjaman modal kerja dapat dikualifikasikan ke dalam pasal tersebut di atas. Jikalau dihubungkan dengan pendapat Mariam Darus Badrulzaman yang menyatakan bahwa Pasal 1754 KUH Perdata bersifat riil yang
berarti bahwa apabila uang telah diserahkan kepada pihak peminjam barulah lahir perjanjian pinjam meminjam menurut pengertian Pasal 1754 KUH Perdata.

D. Jaminan Pinjaman
Dalam perjanjian pinjam meminjam, jaminan diberikan agar pihak kreditur
mendapat kepastian bahwa pinjaman yang diberikan kepada debitur dapat diterima kembali sesuai dengan syarat-syarat yang disetujui. Dengan adanya jaminan kreditur merasa aman, sebab bila terjadi debiturnya wanprestasi atau cedera janji untuk membayar hutang tepat pada waktunya, maka kreditur masih dapat menutup piutangnya atau saia tagihan dengan mencairkan atau menjual barang jaminan yang telah diikatkannya.
Perjanjian pinjaman antara PT. Jasa Raharja (persero) dengan pengusaha kecil merupakan perjanjian yang memiliki asas kepercayaan, artinya pada perjanjian kerjasama ini jaminan tidak mutlak diperlukan. Jaminan tidak mesti harus diberikan, tetapi jaminan dapat diadakan pada perjanjian kerjasama ini apabila pihak pengusaha kecil mampu untuk menyediakan jaminannya.
Tidak diperlukan jaminan dalam perjanjian kerjasama ini dikarenakan tujuan dari persyaratan perjanjian ini adalah murni untuk membantu pengusaha kecil yang kekurangannya modal kerja, sehingga tanpa diadakannya jaminan, tentunya akan mempermudah proses persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengusaha kecil dalam memohon bantuan.
PT. Jasa Raharja (persero) sebagai pembina yang memberikan pinjaman modal kerja kepada pengusaha kecil tidak mengharuskan kepada pengusaha kecil untuk memberikan jaminan (agunan) di dalam pemberian pinjaman modal.
Jaminan hanya diperlukan apabila pihak pengusaha kecil memohon bantuan berupa pinjaman modal kerja/investasi di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Bagi pihak PT. Jasa Raharja (Persero) jaminan ini selain untuk memberikan kepastian hukum, juga diharapkan dapat menjadi motivasi bagi mitra binaannya untuk berusaha. Sebab dengan adanya jaminan ini, tentunya pihak pengusaha kecil akan takut jaminannya disita apabila ia tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjamannya, oleh karena itu pasti ia akan berusaha sebaik-baiknya.

E. Wanprestasi dan Penyelesaiannya
Di dalam suatu perjanjian, dapat timbul risiko penyelewengan dari isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Penyelewengan-penyelewengan ini dapat timbul karena berbagai faktor, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Faktor kesengajaan terjadi apabila pihak pengusaha kecil tidak mau melakukan kewajibannya untuk membayar kembali pinjaman modal yang telah diberikan kepadanya.
Hal ini tentu saja menimbulkan perselisihan-perselisihan antara kedua belah pihak, sehingga dari tujuan pembinaan yang diharapkan, maka perselisihan tersebut harus ada penyelesaiannya.
Penyelesaian perselisihan ini dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama yang disepakati yaitu dalam Pasal 6 yang menyebutkan apabila terjadi perselisihan atas perjanjian itu kedua belah pihak sedapat mungkin akan menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat. Tetapi apabila terjadi perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkannya melalui Pengadilan Negeri Medan.
PT. Jasa Raharja (Persero) mengharapkan penyelesaian perselisihan yang timbul lebih diutamakan dengan cara kekeluargaan, musyawarah dan mufakat karena penyelesaian dengan cara ke pengadilan merupakan alternatif yang terakhir, apabila tidak dimungkinkan cara lain untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam faktor ketidaksengajaan seperti misalnya pihak pengusaha kecil meninggal dunia atau bangkrut, pihak PT. Jasa Raharja (persero) mempunyai kebijaksanaan tersendiri.
Kebijaksanaan tersebut dapat berupa penundaan jadual pembayaran pinjaman sehingga pihak pengusaha kecil mempunyai tenggang waktu. Kebijaksanaan lain dapat berupa penghapusan hutang.
Penghapusan piutang atau pinjaman yang tidak dapat dilunasi pada dasarnya mengikuti kontrak/surat perjanjian yang disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Menyisihkan piutang atau pinjaman yang tidak dapat dilunasi menjadi piutang ragu-ragu.
Kriteria piutang ragu-ragu adalah:
􀂙 Debitur bangkrut atau bubar
􀂙 Laporan keuangan yang bersangkutan menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar hutang-hutang.
Penyisihan piutang yang tidak dapat ditagih menjadi piutang ragu-ragu berdasarkan Berita Acara yang dibuat oleh Tim Peneliti yang anggotanya ditetapkan direksi.
2. Mengusulkan dalam RUPS dalam pembahasan program pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi untuk penghapusan piutang atau pinjaman yang tidak dapat dilunasi tersebut.
3. Apabila pembahasan program pembinaan pengusaha ekonomi lemah dalam RUPS tersebut menyetujui penghapusan piutang tersebut, unit/pejabat yang ditunjuk mengelola pembinaan pengusaha ekonomi lelah dan koperasi mengajukan surat penghapusan piutang kepada direksi dengan tembusan dewan pengurus/dewan komisaris.
4. Dengan persetujuan dewan pengurus/dewan komisaris menerbitkan surat keputusan tentang penghapusan piutang/pinjaman yang tidak dapat dilunasi dengan penghibahan jumlah yang tidak dapat dilunasi tersebut kepada mitra binaan.

F. Berakhirnya Perjanjian Pemberian Pinjaman
Tentang berakhirnya perjanjian pinjaman antara PT. Jasa Raharja (persero) dengan pengusaha kecil tidak ada ditentukan dalam perjanjian tersebut. Tetapi walaupun demikian bukan berarti hal tersebut berlaku untuk selama-lamanya, melainkan perjanjian tersebut harus selalu berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang lazim digunakan dalam perjanjian pada umumnya.
Adapun cara berakhirnya perjanjian tersebut antara lain:
1. Telah terpenuhinya kewajiban pengusaha kecil untuk melunasi pinjamannya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Perjanjian tersebut berakhir pada waktu yang diperjanjikan.
2. Apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian.
Bila dihubungkan dengan perjanjian kerjasama di atas, maka perjanjian pinjaman antara PT. Jasa Raharja (Persero) dengan pengusaha kecil akan berakhir jika PT. Jasa Raharja (Persero) melepaskan haknya atau menyatakan pembebasan hutang pihak pengusaha kecil.
3. Adanya pembatalan, karena ternyata perjanjian kerjasama tersebut menyalahi aturan yang ada.

4. Sebab-sebab lain yang sesuai dengan ketentuan umum.
Dari cara berakhirnya perjanjian kerjasama tersebut di atas, yang terjadi pada hakikatnya adalah cara berakhirnya perjanjian pada poin pertama dan kedua.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemberian bantuan pinjaman modal yang dikelola PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Sumatera Utara kepada Pengusaha Kecil dan Koperasi di Kota Medan sangat bermanfaat bagi pengembangan usaha. Di samping prosedur dan persyaratannya mudah juga bunga pinjaman cukup ringan yaitu 6% per tahun secara menurun (sliding) untuk masa 3 (tiga) tahun di mana pembayaran tiga bulan pertama hanya bunganya saja.
2. Bentuk perjanjian pemberian bantuan modal ini disepakati dalam bentuk tertulis di mana bentuk dan formatnya disesuaikan dengan obyek perjanjian.
3. Wanprestasi sampai saat ini belum pernah terjadi, dan jika terjadi maka penyelesaiannya dilakukan terlebih dahulu dengan cara musyawarah, jika tidak tercapai kata mufakat, maka akan diselesaikan menurut isi perjanjian yang telah disepakati yaitu melalui Pengadilan Negeri Medan.

sumber :http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-siddik.pdf

TINJAUAN YURIDIS UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

BAB I
LATAR BELAKANG

I.I Pendahuluan

kemerdekaan pers (atau sering juga disebut dengan kebebasan pers) di Indonesia yang berlaku semenjak reformasi bergulir telah meninggalkan efek, baik positif maupun negatif di masyarakat. Kemerdekaan pers dikatakan positif, karena pers yang yang merdeka seperti yang kita rasakan hari ini memanjakan masyarakat sebagai user informasi dengan informasi-informasi penting yang di zaman orde baru mustahil dikonsumsi publik secara terbuka. Dampaknya, salah satunya, ruang bagi pengambil kebijakan untuk membohongi publik demi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok, tidak lagi terbuka lebar. Sebaliknya, kemerdekaan pers yang belaku hari ini (orang juga sering menyebutnya sebagai kebebasan pers yang kebablasan) secara faktual seringkali memosisikan dirinya sebagai hakim bahkan eksekutor atas berita-berita yang dilansirnya, trial by press. Orang yang terberitakan acap kali menjadi bulan-bulanan pemberitaan pers yang belum tentu terjamin kebenarannya. Seringkali, atas nama kebebasan pers, sebuah media massa begitu digdaya di tengah lemahnya orang atau pejabat publik yang diberitakannya.

Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Sebelum reformasi, meskipun telah ada pernyataan bahwa kemerdekaan dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD1945, namun masih sebatas janji, karena bergantung pada undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Pada era reformasi, pasca dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan akan kebebasan berpendapat baru secara eksplisit dijamin dalam konstitusi. Pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Seperti yang telah kita ketahui, UU No 40 Tahun 1999 mengawali masa baru dunia pers Indonesia, yaitu masa kebebasan Pers di Nusantara. UU ini benar-benar membawa perubahan yang besar karena dikeluarkan setelah pers melalui era kepemimpinan otoriter dimana kebebasan pers benar-benar tunduk dibawah pemerintahan yang berlaku. Sebelum UU ini keluar, aturan untuk menerbitkan suatu media pemberitaan sangatlah ketat. Belum lagi adanya pengawasan penuh pemerintah terhadap isi pemberitaan yang dapat mengakibatkan dibrendelnya suatu media hanya karena artikel dari media tersebut dinilai tidak berpihak kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Tidak heran, jika kemudian pihak pers menyambut antusias UU ini. Melalui UU No. 40 tahun 1999 ini, diharapkan dunia pers Indonesia dapat berkembang dengan lebih baik, demokratis, dan kredibel karena tidak berpihak pada kelompok tertentu, termasuk pemerintah, atau dengan kata lain pers diharapkan mampu bersikap netral.

Namun penerapan UU Pers di tataran hukum Indonesia tidak seperti yang diharapkan, banyak pro dan kontra yang terjadi di masyarakat. Perdebatan apakah UU Pers dapat digunakan sebagai lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu. Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah. Jurnalis dari beberapa media memang dijerat dengan pasal-pasal pidana dalam KUHP, khususnya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan akibat berita yang ditulisnya. Hal itu, ditambah dengan "hujan" gugatan perdata pada media, menyentakkan kalangan pers.



I.II Pembatasan Masalah


• Layakkah UU no 40/1999 Tentang Pers sebagai "Lex Speciali" ?
• Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU pers ?




BAB II
PEMBAHASAN


II.I Tepatkah UU Pers sebagai Lex Specialis
Di dunia hukum ada adagium yang mengatakan hukum yang bersifat khusus akan menggantikan hukum yang bersifat umum. Atau sering disebut Lex specialis derogat legi generali. Artinya, setiap hukum yang memang mengatur suatu masalah secara khusus dan mendalam, maka akan menggantikan hukum yang telah dipakai namun bersifat umum.

Di dunia pers, kita ketahui bahwa sampai saat ini banyak kalangan jurnalis menginginkan agar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 atau lebih dikenal dengan UU Pers, harus menjadi Lex specialis untuk menyelesaikan sengketa pers. Selama ini pemerintah memang masih menggunakan KUHP sebagai dasar penyelesaian sengketa hukum.

Banyak kalangan jurnalis menolak penggunaan KUHP dalam penyelesaian sengketa, karena ancaman hukuman yang diberikan kepada insan pers berupa ancaman pidana. Menurut mereka seharusnya masalah pertikaian pers harus diselesaikan dengan cara pers juga. Salah satu mekanisme penyelesaian itu dikenal dengan istilah Hak Jawab.

Keputusan MK mengenai kontroversi UU Pers yang memutuskan bahwa UU Pers merupakan "Lex Specialis" merupakan era yang cerah bagi kalangan pers. Keputusan tersebut layaknya seperti angin surga bagi kalangan pers. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi wartawan yang dipenjarakan. Dan kebebasan pers pun terbentuk dengan baik.

Tapi, di lain pihak ada juga tokoh-tokoh pers tidak setuju dengan penerapan UU Pers sebagai Lex Specialis. Alasannya, UU Pers terlebih dahulu harus direvisi, karena dalam UU Pers tidak cukup lengkap memasukkan sanksi-sanksi atas sengketa pers. Kurang lengkapnya UU Pers itu memang sangat wajar. Sebab, UU Pers dibentuk dalam suatu keadaan yang darurat. Saat itu Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membentuk undang-undang tersebut. Alhasil, undang-undang tersebut hanya melindungi pihak-pihak tertentu dan tidak memecahkan persoalan yang ada. Yaitu bagaimana perlindungan terhadap narasumber yang telah dirugikan.

Di dalam dunia hukum pidana, kejahatan bisa terwujud dalam beberapa bentuk. Diantaranya berupa niatan, perbuatan bahkan juga sebuah tulisan. Kejahatan juga selalu mengalami peningkatan baik kualitas dan kuantitas. Alhasil, saat ini ada berbagai macam bentuk tindak pidana baru. Begitu juga dengan dunia pers. Saat ini penyalahgunaan berta memang banyak terjadi. Bahkan, dengan makin majunya dunia pers atau media massa, banyak terjadi bentuk-bentuk baru kesalahan berita yang merugikan narasumber atau orang yang diberitakan. Contohnya berita yang bisa merugikan keadaan fisik dan moril seseorang. "Apakah penggunaan hak jawab mampu menjawab permasalahan". Tentu saja hal tersebut tidak cukup bukan.

Sebagian orang beranggapan UU Pers merupakan aturan khusus menyangkut dunia Pers, sedangkan KUHP merupakan aturan umumnya. Dalam konteks “Lex specialis derrogat lex generalis”, berarti pihak pers yang melakukan tindak pidana tidak dapat dijerat menggunakan KUHP tetapi harus menggunakan UU Pers. Benarkah pendapat itu? Untuk mengujinya, mari kita lihat pasal-pasal di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana dan membandingkannya dengan pasal-pasal pidana yang sering dipergunakan dalam menjerat pihak pers. UU No. 40 Tahun 1999 memuat 1 pasal tentang ketentuan pidana, yakni Pasal 18, yang terdidir dari 3 ayat.
Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
==>Ayat (1) ini mengatur tentang setiap orang atau siapa saja yang menghambat insan pers dalam menjalankan fungsinya. Misalnya, penguasa arogan yang melakukan pembredelan terhadap persuhaan pers. Atau, bagi siapa saja yang menghalang-halangi insan pers dalam mendapatkan informasi, akan dikenakan sangsi pidana (pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00). Dengan demikian, ayat (1) tidak mengatur tentang pidana pers atau pidana yang dilakukan oleh insan pers.
Ayat (2): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan ancaman bagi setiap perusahaan pers memberitakan:
a. peristiwa dan opini yang tidak menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat;
b. azas praduga tak bersalah; serta

Kemudian perusahaan pers juga diancam pidana denda karena sikapnya:
a. yang tidak melayani hak jawab, dan
b. yang memuat iklan yang telarang, misalnya iklan yang merendahkan martabat seseorang.

Yang menjadi fokus anacaman pidana di sini adalah perusahaan pers, bukan wartawan yang membuat berita di sebuah media massa. Karena fokusnya adalah perusahaan, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda. Lalu, bagaimana dengan wartawan si pembuat berita? Secara hukum, Pasal 18 ayat (2) ini tidak bisa menjerat si wartawan yang menulis berita.
Dalam teknis penulisan berita di media massa, ada perusahaan pers yang mencantumkan langsung nama wartawan yang menulis berita (by line) dan ada pula yang sekedar membuatkan inisial atau kode si penulis berita. Menurut saya, dua teknis penulisan ini melahirkan dua konsekuensi hukum yang berbeda pula. Pola yang pertama, by line, tanggung jawab hukum isi berita terletak pada si penulis berita dan perusahaan pers, yang dalam hal ini diwakili oleh pimpinan redaksi. Sedangkan pola yang kedua, secara total tanggung jawab isi dari berita tersebut berada di pundak perusahaan.
Konsekuensi hukum selanjutnya adalah, berita yang ditulis dengan gaya by line tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban sempurna di bawah UU No. 40 Tahun 1999, karena UU ini tidak mengandung pertanggungjawaban personal sebagaimana yang berlaku di pidana umum. Yakni, tangan mencincang bahu memikul; siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab.
Ayat (3): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan sangsi yang dapat dijatuhkan kepada perusahaan pers yang tidak berbadan hukum dan tidak mencantumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya.
Menyimak Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas, UU Pers tidak memuat ketentuan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik yang ditujukan atau pertanggungjawaban hukumnya dimintakan kepada personal atau orang yang secara langsung melakukan indikasi tindak pidana. Penghinaan dan Pencemaran nama baik hanya diatur di beberapa pasal dalam KUHP, seperti Pasal 310-311 dan Pasal XIV-XV UU No. 1 Tahun 1946. Dengan demikian, tentu prinsip “Lex specialis derrogat lex generalis” tidak berlaku.

Selain itu, terlepas dari analisis di atas, UU pers ini memang belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan berlakunya UU lain. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 12 tertulis, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Yang dimaksud tentulah KUHP.
kemudian coba lihat dalam penjelasan tentang hal umum dinyatakan dengan jelas pada alinea terakhir, "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya." Itu maknanya, UU yang diberlakukan secara lex specialis harus dinyatakan dengan jelas, entah itu di batang tubuh ataupun di penjelasannya.
"Itu mengatakan dengan tegas bahwa Undang-undang ini bukan lex specialis, jadi harus ada perubahan kalau mau dijadikan lex specialis,"


II.II Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU Pers

Selanjutnya kita akan menganalisa lebih dalam mengenai kekurangan, kelebihan UU No. 40 tahun 1999 dan kaitannya dengan kondisi media di Indonesia saat ini.

Kelebihan dari UU No.40 tahun 1999

1. Kalangan pers tetap diwajibkan untuk memiliki kode etiknya sendiri, sehingga walaupun sekarang Pemerintah tidak lagi mampu untuk melakukan penyensoran kepada pers nasional, namun terdapat situasi saling mengingatkan diantara kalangan pers tersebut, termasuk di dalamnya Dewan Pers, untuk menghadirkan informasi yang sesuai dan bermutu. (UU no.40 tahun 1999 Bab III Pasal 7)
2. Pers Asing tidak memiliki kekebalan terhadap penyensoran sehingga harus melakukan nasionalisasi perusahaan atau membuka cabang yang berbadan hukum Indonesia namun berasosiasi dengan perusahaan pers asing di negara asalnya. Akibatnya tidak mungkin terjadi monopoli informasi oleh media asing.( UU no.40 tahun 1999 Bab VI Pasal 16)
3. UU no 40 tahun 1999 membuka jalan baru bagi kebebasan Pers Indonesia. Aturan yang berlaku di dalamnya adalah angin segar bagi kalangan pers untuk mampu berlomba-lomba memberikan berita yang paling akurat, benar dan beretika.


Kelemahan dari UU No.40 tahun 1999

1. Tidak adanya aturan mengenai sentralisasi kepemilikan media, sebagai akibatnya sekarang terjadi sentralisasi kepemilikan media kepada golongan tertentu di Indonesia. Padahal sentralisasi kepemilikan media dapat berefek pada termonopolinya informasi, atau pengendalian arus informasi oleh kalangan tertentu sehingga pada akhirnya informasi yang diperoleh oleh masyarakat hanyalah informasi yang telah disusun oleh sekelompok pihak dengan kepentingan mereka masing-masing. Masyarakat hanya mengetahui kenyataan yang sepotong alias tidak utuh dan akhirnya mendorong masyarakat untuk memiliki persepsi yang diinginkan oleh kelompok kepentingan yang memiliki media ini. Padahal di Amerika Serikat, sebagai contoh, aturan mengenai kepemilikan media sangatlah jelas. Tidak diperbolehkan satu orang atau satu pihak untuk menguasai penuh banyak media atau memonopolinya. Sehingga bahkan Robert Murdoch yang dijuluki sebagai Raja Media dan memiliki sahamnya di banyak media pun hanya bisa memperoleh persentase kepemilikan di masing-masing media yang dimilikinya kurang dari 50 persen.
2. Tidak adanya aturan khusus dan menyeluruh mengenai tata cara pendirian sebuah media, sehingga sebagian institusi media atau perusahaan pers didirikan sebagai alat pencucian uang untuk sebagian oknum masyarakat Indonesia.Walaupun mendirikan perusahaan Pers adalah suatu hak dan kebebasan bagi setiap warga negara Indonesia, namun tetap harus ada aturan dan persyaratan yang jelas. Misalnya mengenai sumber dana pendirian perusahaan Pers, atau latar belakang orang yang mendirikannya sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hukum yang mengakibatkan pendirian sebuah perusahaan Pers hanya untuk kedok pencucian uang saja. (Bab IV UU no.40 tahun 1999)
3. Keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Presiden. Sehingga independensi Dewan Pers menjadi dipertanyakan. Karena dengan kata lain berarti Presiden berhak menaruh orang-orang pilihannya di sebuah lembaga yang seharusnya melindungi dan mengembangkan kebebasan pers. Jika Presiden yang berwenang adalah orang yang demokratis maka aturan ini tidak akan menimbulkan masalah, namun jika Presiden yang berkuasa adalah seorang yang otoriter, maka aturan ini dapat menjadi bumerang bagi kebebasan Pers. (UU no.40 tahun 1999 Bab V Pasal 15)
4. Walaupun sebagian hukum yang tertulis sudah cukup baik, namun pelaksanaannya masih belum diterapkan dengan sebagaimana yang seharusnya.

Tapi secara umum, undang-undang ini telah membuka harapan akan dunia pers Indonesia yang lebih baik


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan Dan Saran

Dari uraian yang telah saya sampaikan diatas dapat kita simpulkan bahwa UU NO 40 Tahun 1999 Tentang Pers memang memiliki berbagai kekurangan, salah satu solusinya adalah dengan melakukan revisi terhadap UU tersebut. Tetapi revisi itu nantinya jangan sampai mengurangi kebebasan pers yang sudah ada. Setelah revisi, pemberlakuan UU Pers sebagai "Lex Specialis" merupakan suatu langkah yang wajib dilakukan pemerintah. Karena dengan itu, pemerintah baru bisa disebut benar-benar menunjukkan komitmennya dalam mendukung kebebasan pers di Indonesia.
Satu kelemahan yang lain di negeri kita adalah pekerjaan ikutannya, yaitu sosialisasi UU. Penyebutan semua orang dianggap tahu bila naskah undang-undang sudah dimuat di lembaran negara tidaklah cukup. Lembaran negara dicetak terbatas. Tidak banyak orang yang segera mengetahuinya. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim pertama-tama harus terus menerus memahami UU yang baru. Sering polisi yang sedang memeriksa kasus tidak tahu UU Pers sudah berumur lima tahun. Jika hamba hukum saja belum tahu, apalagi masyarakat.


Sumber : http://jurnal-hukum.blogspot.com/