1.
Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi
serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi
amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan
usaha milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja
keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa
keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati,
sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian
ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih
pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga
dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan,
ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah
terjadi di sini.
Di lain
pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut
hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak
tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang
tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta
Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak
tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia
sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut.
Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Sumber
:
Komentar:
PT KAI sebagai
suatu lembaga memang memiliki kewenangan untuk menyusun laporan keuangannya dan
memilih auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap laporan
keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan dimensi
organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada hal mendasar
yang harus diperhatikannya sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang
baik (good corporate governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus
benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan
kaidah-kaidah yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan
SPAP.
Selain
itu, auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara benar dengan komite
audit yang ada pada PT Kereta Api Indonesia guna membangun kesepahaman (understanding)
diantara seluruh unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas kelembagaan diharapkan
tercipta sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen di
dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang perwujudan tanggung jawab
sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai salah satu pengampu
kepentingan.
2.
Kasus Manipulasi KAP Andersen dan Enron
Sejak
tahun 1985 Enron Corporation menggunakan jasa Arthur Andersen. Andersen
melakukan audit internal dan audit external untuk Enron termasuk untuk
kantor-kantor cabangnya. Enron corporation adalah salah satu klien terbesar
Andersen dengan kontribusi omset sebesar $10 milyar per tahunnya.
Dalam
rangka memperbesar keuntungan yang selama ini telah diperoleh, dibukalah
partnership-partneship yang diberi nama “special purpose partnership”. Partner
dagang yang dimiliki oleh Enron hanya satu untuk setiap partnership dan partner
tersebut hanya menyumbang modal yang sangat sedikit (hanya sekitar 3% dari
jumlah modal keseluruhan). Orang awam pasti bertanya mengapa Enron berminat
untuk berpartisipasi dalam partnership dimana Enron menyumbang 97% dari modal.
Muncul
pertanyaan dari mana Enron membiayai partnership-partnership tersebut?
Pembiayaan tersebut ternyata diperoleh Enron dengan “meminjamkan” saham Enron
(induk perusahaan) kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar
partnership-partnership tersebut. Secara singkat, Enron sesungguhnya mengadakan
transaksi dengan dirinya sendiri. Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari
partnership-partnership tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada
pemegang saham dan Security Exchange Commission (SEC).
Lebih
jauh lagi, Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar $US 690 juta yang
ditimbulkan induk perusahaan ke partnership partnership tersebut. Total hutang
yang berhasil disembunyikan adalah $US 1,2 miliar. Akibatnya, laporan keuangan
dari induk perusahaan terlihat sangat atraktif, menyebabkan harga saham Enron
melonjak menjadi $US90 pada bulan Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu tersebut, Enron telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak
$US650miliar.
Manipulasi
yang dilakukan Enron selama bertahun-tahun ini mulai terungkap ketika Sherron
Watskin, salah satu eksekutif Enron mulai melaporkan praktek tidak terpuji ini.
Pada bulan September 2001, pemerintah mulai mencium adanya ketidakberesan dalam
laporan pembukuan Enron. Pada bulan Oktober 2001, Enron mengumumkan kerugian
sebesar $US618 miliar dan nilai aset Enron menyusut sebesar $US1,2 triliun
dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh tahun
terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan
mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan
bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron hanya
26 sen.
Sumber
:
Komentar:
Dalam
kasus ini terjadi penyimpangan atau pelanggalaran yang dilakukan pihak
perusahaan (enron) dan pihak auditor. Besarnya jumlah consulting fees yang
diterima Arthur Andersen menyebabkan KAP tersebut bersedia kompromi terhadap
temuan auditnya dengan pihak Enron. Keduanya telah bekerja sama dalam
memanipulasi laporan keuangan sehingga merugikan berbagai pihak baik pihak
eksternal seperti para pemegang saham dan pihak internal yang berasal dari
dalam perusahaan enron.
Kecurangan
yang dilakukan oleh Arthur Andersen telah banyak melanggar prinsip etika
profesi akuntan diantaranya yaitu melanggar prinsip integritas dan perilaku
profesional. KAP Arthur Andersen tidak dapat memelihara dan meningkatkan
kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk kategori The Big Five dan tidak
berperilaku profesional serta konsisten dengan reputasi profesi dalam mengaudit
laporan keuangan dengan melakukan penyamaran data. Kasus ini memberi gambaran
bagaimana sebuah pelanggaran etika dalam bisnis dan profesi seseorang dapat
berakibat besar bagi kelangsungan hidup perusahan serta berbagai pihak yang
terkait
3.
Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono
September
tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu.
Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia
sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa
profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak
perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Berkat aksi sogok
ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta
menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was
dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar,
Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.Badan
pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya
dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan
Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke
pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya
diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.
Sumber
:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3732/font-size1-colorff0000bskandal-penyuapan-pajakbfontbr-kantor-akuntan-kpmg-indonesia-digugat-di-as
Komentar:
Kasus
KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono juga melibatkan kantor akuntan publik
yang dinilai terlalu memihak kepada kliennya. Pada kasus ini KPMG melanggar prinsip
intregitas dimana dia menyuap aparat pajak hanya untuk kepentingan
kliennya, hal ini dapat dikatakan tidak jujur dan tidak adil dalam melaksanakan
tugasnya. Selain prinsip tersebut, akuntan juga telah melanggar prinsip
obyektivitas hingga ia bersedia melaukan kecurangan. Di sini terihat bahwa
ia telah berat sebelah dalam memenuhi kewajiban profesionalnya.
Integritas
adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional,
integritas mengharuskan seorang anggota untuk antara lain bersikap jujur dan
berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Obyektivitas
adalah suatu kualitas yag memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota,
prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur,
secara intelektual, tidak berprasangka, serta bebas dari benturan kepentingan
atau berada dibawah pengaruh pihak lain.
4.
Kasus Mulyana W Kusuma
Kasus
ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU
diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan
berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud
yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi.
Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan
laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan
tersebut lebih baik daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi.
Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan
setelahnya.
Setelah
lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati
pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W
Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada
anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut,
tim intelijen KPK bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah
ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana
dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat
auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini,
sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan
perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
Sumber:
Komentar:
Dalam konteks
kasus Mulyana W Kusuma, dapat dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah
pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU,
sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada
pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan
sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusuma, walaupun dengan
tujuan ‘mulia’, yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh
KPU. Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab,
yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya.
Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan
pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah
terjadi korupsi.
Dari
sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan.
Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan
menjalankan profesinya. Sebagai seorang auditor BPK seharusnya yang dilakukan
adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus
bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana
tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau
dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi
akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau
memang terjadi.
Tampak
sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya,
sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam
cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah
terjadi, yaitu dengan jebakan. Dalam kasus ini kembali lagi kepada tanggung
jawab moral seorang auditor di seluruh Indonesia, termasuk dari BPK harus sadar
dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat
untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak
telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan,
maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini.
5.
Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta,
19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian
mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan
pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten
Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan
BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank
bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar
audit.
Hasil
audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas
bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan
kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut
adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S &
S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah
menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik
dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan
palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat
akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan
mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan
pihak
perbankan.
ICW
menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam
penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada
berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan
rekayasa akuntansi. Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak
melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan
laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos
laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami
mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga
menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi
laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini
merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus
meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode
etik profesi akuntan.
Sumber
:
http://www.kompas.com,
20 April 2001
Komentar:
Pada
kasus tersebut prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab
profesi, dimana seharusnya melakukan pertanggung jawaban sebagai profesional
yang senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam setiap
kegiatan yang dilakukannya. Prinsip ini mengandung makna bahwa akuntan sebagai
pemberi jasa profesional memiliki tanggung jawab kepada semua pemakai jasa
mereka termasuk masyarakat dan juga pemegang saham. Dengan menerbitkan laporan
palsu, maka akuntan telah menyalahi kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada mereka selaku orang yang dianggap dapat dipercaya dalam penyajian laporan
keuangan.
Selain
itu seharusnya tidak melanggar prinsip etika profesi yang kedua,yaitu
kepentingan publik, dan objektivitas. Para akuntan dianggap telah menyesatkan
publik dengan penyajian laporan keuangan yang direkayasa dan mereka dianggap
tidak objektif dalam menjalankan tugas. Dalam hal ini, mereka telah bertindak
berat sebelah yaitu mengutamakan kepentingan klien dan mereka tidak dapat
memberikan penilaian yang adil, tidak memihak, serta bebas dari benturan
kepentingan pihak lain.
Cici Pebrisah Silalahi
25209046/4EB09
Etika Profesi Akuntansi
Cici Pebrisah Silalahi
25209046/4EB09
Etika Profesi Akuntansi